Di dalam banyak kitab fiqih, para ulama menulis beberapa anjuran yang seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan merupakan dalam memilih pasangan, karena sunnah Nabi SAW.
- Kualitas Agama
Masalah kualitas agama adalah perkara fundamental. Idealnya seorang wanita dipilih menjadi istri karena memang terbukti kualitas keagamaan yang dimilikinya itu original, asli dan sudah bawaan dari 'sononya'.
Sebab semua itu akan sangat membantu dalam menjaga kualitas keagamaan suami dan anak-anak nantinya. Rasulullah SAW bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأِرْبَعٍ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita itu dinikahi karena empat perkara : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena kualitas agamanya. Maka setidaknya pastikan wanita yang punya agama engkau akan beruntung. (HR. Bukhari Muslim) - Diutamakan Perawan
Meski Rasulullah SAW menikah rata-rata dengan janda, namun beliau tetap menganjurkan para shahabatnya agar menikah dengan perawan. Dalam sabdanya beliau menegaskan
عَلَيْكُمْ بِالأْبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ
Hendaklah kalian menikah dengan perawan, karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah)
Ketika Jabir bin Abdillah memberitahu Rasulullah SAW bahwa dirinya akan segera menikah dengan seorang janda, maka Rasulullah SAW sempat mempertanyakan :
فَهَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ ؟
Kenapa kamu tidak menikahi perawan saja sehingga kamu bisa bermain-main dengannya dan dia bisa bermain-main denganmu? (HR. Bukhari Muslim)
Namun anjuran menikahi perawan ini tidak bersifat mutlak, sebab selain Rasulullah SAW sendiri lebih banyak menikahi janda dari pada perawan, ketika ada shahabat beliau yang menikah dengan janda dengan alasan yang kuat dan masuk akal, hal itu dibenarkan oleh beliau.
Ketika Jabir dipertanyakan oleh beliau SAW di atas, saat itu jawab Jabir adalah bahwa dirinya menikahi janda dengan pertimbangan bahwa dirinya punya banyak adik perempuan yang masih kecil dan butuh belaian tangan kasih seorang ibu. Maka berharap dengan menikah dengan janda yang tentunya sudah banyak berpengalaman merawat anak-anak kecil, Jabir berpikir akan lebih baik untuk adik-adiknya. Dan hal itu dibenarkan oleh Rasulullah SAW.| - Belum Punya Anak
Mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabila menganjurkan dalam menikahi wanita sebaiknya yang belum pernah punya anak. Kalau pun wanita itu janda, maka yang lebih diutamakan adalah yang belum punya anak. Tujuannya tentu saja agar wanita itu bisa lebih optimal dalam melayani suaminya dan tidak terganggu dengan kewajiban mengurus anak.
Oleh karena itulah ketika pada awalnya Ummu Salamah radhiyallahuanha menolak pinangan Rasulullah SAW, alasannya karena beliau adalah wanita janda yang sudah punya anak. Beliau khawatir tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada Rasulullah SAW.
Namun karena Rasulullah SAW diperintah dengan wahyu, maka pernikahan beliau dengan Ummu Salamah tetap berlangsung. - Keturunan
Islam bukan agama feodal yang mementingkan darah dan keningratan. Maka ketika agama Islam menganjurkan untuk memperhatikan masalah keturunan, tentunya bukan dari segi keningratan, darah biru atau tingkat status sosial.
Pertimbangan masalah keturunan ini lebih menyoal kepada keshalihan dan kualitas implementasi agama dari kedua orang tua dan keluarga si calon istri. Barangkali dalam bahasa yang sederhana, seberapa kiyai-kah keluarga calon istri. Atau seberapa ulama-kah keluarganya.
Sebab ada hadits yang bicara tentang tidak bolehnya seorang wanita dinikahi lantaran karena semata-mata ketinggian martabat (keningratan) keluarganya secara duniawi.
وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللَّهُ إِلاَّ دَنَاءَةً
Siapa yang menikahi wanita karena semata-mata dari segi keningratannya, Allah tidak menambahkan kepadanya kecuali kerendahan. (HR. At-Thabarani) - Kesuburan
Di antara salah satu pertimbangan penting tentang calon istri yang ideal untuk dipilih adalah mereka yang terbukti kuat punya tingkat kesuburan tinggi. Hal ini bisa dilihat dari berbagai indikator, di antaranya kesuburan saudari-saudarinya yang sudah menikah, atau para wanita lainnya dalam keluarganya.
Sebab salah satu tujuan pernikahan di dalam agama Islam adalah untuk mendapatkan dan memperbanyak keturunan, dimana secara lebih makro, Rasulullah SAW berujar tentang lomba dengan para nabi yang lain tentang jumlah umat Islam.
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah wanita yang pengasih dan subur, karena aku berlomba dengan umat lain dengan jumlah kalian". (HR. Ahmad)
Di antar hikmah beranak banyak di masa sekarang ini adalah seorang wanita akan berpikir seribu kali kalau minta bercerai dari suaminya. Jauh berbeda antara istri yang sudah punya anak 12 dengan yang belum punya anak. Yang belum punya anak akan lebih mudah minta cerai kepada suaminya.
Hal yang sama juga terjadi pada suami, ketika 10 tahun pernikahan istri tidak juga punya anak, sulit ditepis dari benak suami untuk tidak menikah lagi dengan wanita lain, meski tidak pernah diungkapkan kepada istrinya.
Dan kisah Nabi Ibrahim alahissalam dan istrinya, Sarah, yang bertahun-tahun membina rumah tangga tanpa segera menerima kehadiran anak, barangkali bisa dijadikan contoh kasus.
Namun ada juga kisah orang yang sedemikian sabar karena belum punya anak juga, meski usia pernikahan sudah lebih ari 50 tahun. Salah satunya adalah kisah Nabi Zakaria yang kerjanya siang malam berdoa agar punya anak, sampai dirinya jadi tua dan seluruh rambutnya berkobar dengan uban.
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
(Zakaria) berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". (QS. Maryam : 4-6)
Akhirnya Allah SWT memberi kabar gembira kepada hamba-Nya bahwa dia akan segera beroleh seorang anak yang namanya Yahya. Zakaria sempat herannya juga dan malah balik bertanya,"Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua".
Maka Allah berfirman hal itu mudah bagi-Nya dan lahirlah sang anak, ketika keduanya sudah tua renta atas mukjizat Allah.
Buat kita kisah ini sekedar mukjizat buat nabi, tentu keliru kalau orang ingin punya anak lalu malah menikahi nenek-nenek yang sudah berusia 99 tahun 11 bulan 29 hari, sambil berharap datangnya mukjizat seperti Nabi Zakaria. Sebab Nabi Zakaria sendiri tidak pernah menikahi nenek-nenek, istrinya yang sudah tua renta itu dulu waktu dinikahi adalah perawan ting-ting 100%. Namun terlambatnya dapat anak karena Allah SWT ingin menguji pasangan itu. - Kecantikan dan Kepatuhan
Tentu keliru kalau pertimbangan paling utama ketika menikah seorang wanita semata-mata hanya faktor kecantikan. Tetapi juga keliru kalau faktor kecantikan tidak boleh dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan. Jadi yang tepat adalah posisi di antara kedua. Rasulullah SAW sendiri pernah ditanya tentang pertimbangan menikahi seorang wanita, dan ternyata beliau menjawab salah satunya karena faktor kecantikan.
يَا رَسُول اللَّهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَال : الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ
Ya Rasulallah, wanita yang baik itu yang bagaimana? Beliau SAW menjawab,"Kalau kamu melihatnya, kamu bergembira, tapi dia patuh kepadamu kalau kamu perintah. (HR. An-Nasai')
Sedangkan wanita yang terlalu bangga dengan kecantikannya, sehingga dia merasa bisa menaklukkan laki-laki hanya dengan kerlingan sudut matanya, jelas bukan termasuk dalam kategori ini.
Sebab kriteria itu menyebutkan bahwa wanita itu patuh kepada suaminya bila diperintah, tanpa cemberut atau bermuka masam. Dan bukan wanita yang membuat suaminya jadi takut kepada istri, dikarenakan suaminya merasa tidak percaya diri lantaran berwajah jelek.
Dan kecantikan adalah sebuah penilaian yang sifatnya sangat relatif. Dimana tiap peradaban dan zaman punya konsep yang berbeda tentang kecantikan. Di abad 21 ini, umumnya orang punya pandangan kecantikan adalah boneka Berbie, yang putih kulitnya, tinggi, kurus, semampai. Sehingga para wanita sedunia terobsesi dengan bentuk tubuh boneka itu, meski sesungguhnya tidak lebih dari propaganda produk kosmetik.
Siapa sangka bahwa di masa lalu, konsep kecantikan justru terbaik 180 derajat. Salah satunya ratu kecantikan Mesir, Cleopatra. Meski dalam film Cleopatra selalu digambarkan sebagai sosok yang rupawan, para ahli sejarah justru mengatakan bahwa bentuk kecantikan Cleopatra itu aneh bin ajaib bila diukur di masa kini.
Betapa tidak, ternyata sang ratu yang diperebutkan oleh dua pemimpin besar kala itu, Julius Caesar dan Mark Antonius, konon malah memiliki leher yang gemuk, dahi mendatar, hidungnya lancip bengkok, telinganya panjang, dagunya mencuat, tinggi tubuhnya pun hanya 1,5 meter, bertubuh agak montok dan tidak menekankan pada kecantikannya. Satu lagi, ternyata Cleopatra berdarah Afrika yang kulitnya hitam legam. - Berakal dan Berakhlaq Baik
Amat dianjurkan menikahi wanita yang berakal dan bukan wanita yang bodoh, pandir, kurang akal dan ideot. Demikian juga sangat dihindari wanita yang kurang baik tabiat, jelek perangainya, rendah akhlaqnya, dan bermasalah dalam perilakunya.
Di dalam kitab-kitab fiqih seringkali disebutkan nasehat untuk menjauhkan diri dari menikahi tipe wanita seperti tersebut di atas.
اجْتَنِبُوا الْحَمْقَاءَ فَإِنَّ وَلَدَهَا ضَيَاعٌ وَصُحْبَتَهَا بَلاَءٌ
Jauhilah wanita yang bodoh, karena kalau punya anak tidak ada artinya dan melayaninya menjadi bala'. - Bukan Kerabat Dekat
Secara aturan syar'i, Islam membolehkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih keluarganya sendiri yang bukan mahram. Akan tetapi bila ada banyak piliham ada anjuran dari para ulama untuk sebaiknya mencari wanita yang agak lebih jauh hubungan keluarganya.
Hikmahnya antara lain agar hubungan antara keluarga semakin luas, tidak hanya sebatas kerabat dekat, tetapi juga antara kerabat yang jauh, bahkan berbeda suku dan kebangsaan. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.(QS. Al-Hujurat : 13) - Mahar Yang Seimbang
Di antara sunnah dalam menikahi wanita adalah yang maharnya seimbang, tidak terlalu mahal sehingga menjadi beban yang berat, tetapi juga tidak harus terlalu murah, sehingga menjadi tidak ada harganya.
Aisyah ummul mukminin radhiyallahuanha pernah meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا
Diantara keberkahan seorang wanita adalah mudah melamarnya, sedikit mas kawinnya dan mudah mendapatkan kasih sayangnya. (HR. Ahmad)
Namun kalau kita bahas nilai sedikit atau banyak nilai mahar, tentu kita harus sesuaikan dengan budaya lokal dimana seseorang berada. Budaya lokal kita memang nyaris 180 derajat berbeda dengan budaya negeri lain, khususnya budaya Arab. Urusan nilai mahar di negeri kita nyaris tidak pernah menjadi persoalan, sebab umumnya para wanita tidak terlalu peduli dengan nilainya.
Adalah sudah menjadi 'urf (kebiasaan) buat para wanita di negeri kita untuk berbahagia menerima mahar berupa mushaf Al-Quran atau sekedar mukana dan sejadah shalat yang harganya tidak lebih mahal dari 100 ribu perak. Tidak ada yang merasa dirugikan, apalagi tersinggung.
Malah terkadang maharnya hanya berupa dibacakan surat Al-Fatihah, atau ayat-ayat tertentu. Sama sekali tidak ada nilainya dari sisi harta benda. Itulah budaya kita, bangsa Indonesia.
Tetapi lain halnya dengan budaya Arab, baik di masa sekarang apalagi di masa Nabi SAW dahulu. Nilai mahar setara dengan nilai martabat keluarga dan kehormatannya. Kalau menikahi wanita dari kalangan kaya dan terhormat, maka maharnya harus sesuai dengan keadaan mereka. Dan bila nilainya dirasa kurang cocok, pernikahan bisa saja dibatalkan.
Ketika khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahanhu berupaya memberikan batasan tertinggi atas nilai mahar, beliau pun diprotes dan diingatkan oleh para wanita. Intinya, bahwa mahar itu adalah hak para wanita, kenapa Umar berani-beraninya membatasi, padahal Allah SWT tidak membatasinya. Rasulullah SAW dan Abu Bakar radhiyallahuanhu juga tidak pernah membatasinya.
Maka ukuran mahal dan murahnya nilai mahar harus diukur sesuai dengan ukuran yang berlaku di suatu tempat budaya. Sebagai perbandingan, sepuluh ekor unta untuk mahar barangkali sangat mahal untuk ukuran Indonesia, meski di kalangan orang kaya sekalipun. Namun 10 ekor unta itu sebuah mahar yang 'biasa-biasa' saja untuk ukuran laki-laki usia 25 tahun yang menikahi janda usia 40 tahun.
Adalah Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah diriwayatkan memberi mahar 10 atau 20 ekor unta. Sebagian riwayat malah menyebutkan 100 ekor unta, sesuai dengan perbedaan periwayatan yang kita terima. - Bukan Wanita Yang Diceraikan
Mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan bahwa sebaiknya wanita yang dinikahi itu bukan wanita yang dicerai atau ditalak oleh suaminya dalam keadaan dia masih mencintai suaminya.
Barangkali di antara hikmahnya karena bisa saja wanita itu tidak bisa melupakan mantan suaminya dalam waktu yang cukup lama.
Dengan menikah dengan janda yang masih hidup suaminya, maka masih terbuka kemungkinan untuk kembali lagi. Bahkan boleh jadi kembalinya mereka sesungguhnya lebih baik demi kemaslahatan dan keutuhan keluarga mereka. Apalagi misalnya masih ada anak-anak yang membutuhkan bersatunya kedua orang tua mereka.
Lain halnya bila suaminya telah meninggal dunia, maka putuslah harapannya untuk kembali kepada suaminya. Dan lebih besar harapannya untuk menikah dengan suami baru, tanpa ada resiko yang kurang diharapkan.
Sumber: https://www.facebook.com/ustsarwat/posts/3040182642665704
0 Comments